"Suara Horor menyajikan cerita horor monolog, pengalaman mistis nyata, dan creepypasta terbaik. Temukan narasi horor mencekam yang bikin bulu kuduk merinding di sini."
Karya ini merupakan sebuah cerita fiksi horor psikologis yang ditujukan sebagai konten hiburan, eksplorasi karakter, dan naskah teater monolog. Seluruh tokoh, tempat, dan kejadian dalam cerita ini adalah murni imajinasi penulis.
Narasi ini mengandung unsur gangguan psikologis, obsesi gelap, dan situasi yang menegangkan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pembaca. Cerita ini sama sekali tidak untuk ditiru dan tidak bertujuan untuk mempromosikan atau menginstruksikan tindakan kekerasan, perilaku berbahaya, maupun pelanggaran hukum di kehidupan nyata.
Pembaca diharapkan bijak dalam mengonsumsi konten ini
Kalian tahu apa yang paling menjijikkan dari manusia? ... Garis-garis yang tidak lurus. Tadi pagi, aku melihat tetangga bawah, Pak RT, memakai kaus kaki yang tingginya beda sebelah. Satu di atas mata kaki, satu lagi melorot. Dia bicara padaku soal iuran sampah, tapi aku tidak dengar. Fokusku... pecah. Aku cuma mau ambil gunting di saku... dan memotong kakinya supaya simetris. Tapi tentu saja, aku cuma tersenyum. Aku kan "Adrian yang sopan". Setiap pagi itu sama. Harus sama. Sprei kaku tanpa kerutan. Kopi tanpa ampas—sama sekali tidak boleh ada butiran pasir di dasar cangkir. Kalau ada satu butir saja yang tersangkut di gigiku, aku bisa merasa dunia ini miring seharian. Retak. Berantakan. Bu Ani. Lagi. Tawanya itu... seperti suara kaca pecah yang diinjak-injak. Crak. Crak. Crak. Tidak ada ritmenya. Dia tertawa jam tujuh pagi cuma karena melihat kucing mengejar ekornya sendiri. Manusia-manusia ini... mereka hidup seperti binatang liar. Berisik. Mengotori udara dengan suara-suara yang tidak perlu Tahu tidak apa yang kulakukan pada AC tetangga sebelah tadi malam? Dia pikir AC-nya cuma "sembuh" sendiri. Tidak. Aku masuk lewat celah ventilasi. Aku cuma tidak tahan dengar suara getaran bautnya yang longgar itu. Drrrr... drrrr... Sepanjang malam. Seperti ada serangga yang merayap di dalam gendang telingaku. Aku hanya memutar bautnya. Setengah putaran ke kanan. Klik. Senyap. Aku suka rasa saat sesuatu yang salah... akhirnya dipaksa jadi benar. Rasanya lebih baik daripada seks. Rasanya seperti... menjadi Tuhan yang membawa obeng. Dunia ini penuh dengan sampah yang harus dipilah. Orang-orang yang berisik, orang-orang yang jalannya miring, orang-orang yang bernapas terlalu keras di kereta... mereka itu cuma kegagalan produksi. Dan tugas konsultan seperti aku? Menyetel ulang semuanya. Sampai tidak ada lagi suara. Sampai semuanya... diam. Mari kita lihat... siapa yang paling berisik hari ini Bau ini. Kalian tidak akan menemukannya di toko parfum manapun. Bau debu tua, logam, dan... sedikit sisa keringat yang sudah mengering bertahun-tahun. Bau keberadaan. Ini. Sisir plastik murah. Warnanya pink, sudah pudar. Masih ada tiga helai rambut pirang yang melilit di giginya. Milik... ah, siapa namanya? Aku lupa. Tapi aku ingat caranya memegang kepala saat dia pusing. Dia selalu menyisir rambutnya ke arah kiri. Terlalu sering. Sampai kulit kepalanya merah. Sekarang? Dia tidak perlu menyisir lagi. Rambutnya sudah tenang di bawah tanah. Orang-orang bodoh mengumpulkan perangko atau koin. Untuk apa? Benda-benda itu tidak punya cerita. Tapi kacamata ini? Aku ingat wajah pemiliknya saat lensa ini retak. Prak. Persis di depan mataku. Dia menatapku—bukan dengan benci, tapi bingung. Seolah-olah dia tidak percaya bahwa dunianya yang rapi bisa hancur cuma karena satu hentakan tanganku. Dunia ini penuh dengan wajah-wajah yang... sia-sia. Lihat pria ini. Makan siang sendirian, mengupil, lalu mengusapnya ke bawah kursi. Menjijikkan. Dia sudah tidak ada. Dan yang ini? Gadis yang selalu menangis di telepon umum. Dia sudah diam sekarang. Aku yang mendiamkannya. Tapi dia... Siska. Dia ini masalah. Lihat matanya. Dia selalu melihat ke atas. Ke langit, ke awan, ke apa saja... seolah-olah ada sesuatu di sana yang akan turun dan menyelamatkannya. Harapan. Itu penyakitnya. Dia terlalu "terang". Baunya seperti sabun bayi dan optimisme yang naif. Setiap kali aku melihatnya lewat di depan kantorku, aku merasa seperti ada kerikil di dalam sepatuku. Mengganjal. Menyakitkan. Dia tidak pas dengan pemandangan kota yang abu-abu ini. Matanya yang selalu mencari pertolongan itu... harus aku tutup. Bukan dengan paksa. Bukan dulu. Aku harus mengosongkan mata itu. Aku ingin dia melihat ke arahku, dan tidak menemukan apa-apa lagi di sana. Hanya kekosongan yang jujur. Sabar ya, Siska. Aku tidak akan mengambil nyawamu. Belum. Aku akan mengambil cahayamu dulu. Satu... demi satu. Sampai kau memohon padaku untuk mematikan lampunya. Tidakkah kalian merasakannya? Bau manusia... Bau kecemasan, parfum murah yang menempel di keringat, dan sisa sarapan yang membusuk di mulut mereka. Di sini, di dalam kotak besi ini, kita semua cuma sekumpulan daging yang digiling jadi satu. Saling senggol. Saling sikut. Dan tidak ada satupun yang minta maaf. Mereka hidup seperti kecoa yang panik saat lampu dinyalakan. Berantakan. Tanpa sistem. Lalu... ada dia. Lihat si jas biru itu. Suaranya... Tuhan, suaranya seperti knalpot rusak. Dia sedang memaki seseorang di ujung telepon. "Kerja kamu sampah!" katanya. Padahal dia sendiri? Dia tidak sadar kancing kemejanya salah pasang satu lubang. Dia mengkritik efisiensi orang lain, sementara dia sendiri adalah sebuah kegagalan simetri. Dia membuatku... gatal. Aku selalu membawa "penawar" untuk orang-orang seperti dia. Kecil. Tipis. Hampir tidak terlihat jika aku tidak menginginkannya terlihat. Sedikit lebih dekat. Biarkan kereta bergoyang. Manfaatkan momentumnya. Satu... dua... Cekit. Cuma seperti gigitan nyamuk. Dia bahkan tidak berhenti bicara. Dia cuma menggaruk lengannya, lalu lanjut memaki. Bodoh. Dia tidak tahu kalau di dalam pori-porinya sekarang ada cairan yang akan membuat paru-parunya merasa seperti diperas oleh tangan raksasa dalam sepuluh menit ke depan. Reaksi anafilaksis. Alergi yang "tidak disengaja". Kereta berhenti. Aku turun. Dia tetap di sana, melaju menuju ajalnya sendiri. Besok pagi, aku akan melihat berita kecil di halaman sepuluh. "Pria malang tewas karena alergi mendadak di kantor." Dan aku? Aku akan duduk di mejaku, meminum kopi yang ditimbang dengan tepat, dan tersenyum. Aku tidak membunuhnya. Aku hanya... mengoreksi kebisingannya. Dunia jadi sedikit lebih sunyi sekarang. Satu nada sumbang berhasil dihapus. Eksperimen hari ini sukses. Jarumnya bekerja dengan baik. Sekarang... aku jadi penasaran. Bagaimana reaksi Siska kalau aku menyuntikkan sesuatu yang berbeda ke dalam hidupnya? Bukan ke lengannya. Tapi ke... kepalanya. Satu, dua, kiri. Satu, dua, kanan. Sempurna. Kalian tahu apa yang paling menyedihkan dari Siska? Dia... terlalu transparan. Hidupnya seperti buku saku yang bisa kau beli di bandara. Murah. Mudah ditebak. Jam enam pagi, dia jogging. Selalu rute yang sama. Menghindari genangan air, berhenti di lampu merah yang sama, dan selalu... selalu tersenyum pada tukang sapu jalanan yang bahkan tidak tahu namanya. Untuk apa? Senyum itu cuma pemborosan energi. Lalu hari Minggunya. Oh, hari Minggu yang suci. Dia pergi ke panti jompo itu. Membawakan bunga-bunga yang akan mati dalam dua hari untuk ibunya yang bahkan tidak ingat siapa dirinya sendiri. Aku sudah memperhatikannya dari seberang jalan. Dia duduk di sana, memegang tangan wanita tua yang sudah tinggal kulit dan tulang itu, lalu membisikkan sesuatu yang optimis. Itu membuat perutku mual. Optimisme adalah kanker. Itu membuat orang jadi buta. Dia pikir dunia akan memberinya hadiah karena dia "baik"? Aku butuh dia melihatku. Bukan sebagai "Adrian sang konsultan", tapi sebagai sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Tapi aku harus sabar. Kau tidak bisa langsung mematahkan sayap kupu-kupu; kau harus membiarkannya merasa aman dulu di atas jarimu. Kemarin, aku mulai masuk ke dalam radar-nya. Aku menjadi relawan di panti jompo itu. Memakai seragam putih yang kaku, tersenyum dengan rapi—senyum yang sudah kulatih di depan cermin selama dua jam. Aku membantunya membawakan vas bunga. "Terima kasih, Mas," katanya. Suaranya... cih, suaranya terlalu cerah. Seperti lampu yang terlalu terang di tengah malam. Sangat mengganggu. ku sudah menemukan tuasnya. Ibunya. Kasih sayangnya adalah titik lemahnya. Orang yang peduli pada orang lain adalah orang yang paling mudah untuk dihancurkan. Mereka memberikan kunci rumah mereka secara sukarela lewat empati. Aku mulai merancang "pertemuan kebetulan" berikutnya. Sedikit tumpahan kopi di kafe favoritnya hari Selasa depan. Aku akan ada di sana. Membawa tisu, membawa maaf, dan membawa kehancurannya tanpa dia sadari. Siska yang malang. Dia pikir dia sedang berteman dengan seorang malaikat. Dia tidak tahu kalau dia sedang mengundang badai masuk lewat jendela kamarnya. Aku akan membedah hidupnya, bagian demi bagian. Aku ingin melihat kapan tepatnya tawa menjijikkan itu akan berubah menjadi isakan yang... simetris. Sedikit dorongan lagi. Sedikit tekanan pada tuas yang tepat. Dan... cekrak. Pernahkah kalian melihat gedung tinggi yang dirubuhkan? Bukan dengan bom besar, tapi dengan mencabut bautnya satu per satu. Perlahan. Diam-diam. Sampai struktur itu tidak kuat lagi menahan bebannya sendiri. Itulah yang sedang kulakukan pada Siska. Kemarin, aku mengirim "hadiah" kecil untuk pacarnya. Hanya beberapa foto hasil editan yang sangat rapi. Siska sedang tertawa di sebuah bar dengan pria asing—yang sebenarnya adalah aku, tapi dengan sudut pengambilan gambar yang... sedikit kabur. Oh, kalian harus lihat wajahnya saat mereka bertengkar di parkiran. Suara Siska yang biasanya seperti lonceng itu... pecah. Dia menangis, memohon, bersumpah dia tidak tahu siapa pria itu. Tapi keraguan adalah racun yang bekerja cepat. Begitu kau menyuntikkannya ke dalam sebuah hubungan, tidak ada obat penawarnya. Dan di kantor? Itu bagian favoritku. Aku hanya perlu waktu tiga menit saat dia pergi ke toilet. Menghapus satu file presentasi penting, lalu menggantinya dengan folder kosong yang diberi nama "Draft Akhir". Saat rapat tadi pagi, dia berdiri di sana, di depan bosnya, membeku. Wajahnya yang biasanya cerah berubah menjadi pucat, seperti kertas yang baru saja disiram air. Dia terlihat bodoh. Ceroboh. Tidak kompeten. Persis seperti yang aku inginkan. (Adrian mencondongkan tubuh, suaranya mengecil menjadi bisikan intim) Tapi bagian terbaiknya adalah... aku ada di sana untuk "menyelamatkannya". Aku adalah orang yang menepuk bahunya di pantry, memberikan tisu, dan mendengarkan semua keluh kesahnya. "Dunia memang tidak adil, Siska," kataku padanya. Aku menatap matanya dalam-dalam. Matanya yang dulu selalu melihat ke langit... sekarang mulai menatap lantai. Dia mulai mencari pegangan. Dan pegangan itu... adalah tanganku yang dingin. Dia mulai retak. Aku bisa melihat garis-garis halus kecemasan di dahinya. Dia tidak lagi tersenyum pada tukang sapu. Dia tidak lagi jogging. Dia hanya duduk di meja kerjanya, menatap kosong, bertanya-tanya mengapa dunianya yang sempurna tiba-tiba runtuh. Dia pikir ini nasib buruk. Dia tidak tahu kalau ini adalah operasi bedah. Aku sedang mengangkat "tumor harapan" dari otaknya. Aku sedang menyetel ulang frekuensinya agar selaras dengan kegelapanku. Satu baut lagi, Siska. Hanya perlu satu hentakan kecil lagi, dan kau akan jatuh tepat di telapak tanganku. Indah sekali... melihat sesuatu yang indah hancur dengan begitu rapi. Satu kesalahan. Cuma satu. Dan semuanya terasa seperti... pasir yang merosot dari genggamanku. Tadi malam, aku terlalu fokus pada rekaman suara Siska. Aku lupa. Aku lupa mematikan lampu di unit seberang—unit yang seharusnya kosong. Dan siapa yang harus lewat di sana? Pak Rudi. Si tua bangka yang hidungnya selalu ingin tahu urusan orang lain. "Lho, Mas Adrian? Kok lampunya nyala? Bukannya itu unit kosong?" Lalat kecil. Dia berdiri di sana dengan daster kumalnya, memegang kantong sampah, dan menatapku seolah dia baru saja menemukan rahasia negara. Aku ingin sekali mencekiknya di sana. Merasakan tulang lehernya yang rapuh itu... krak. Supaya dia tidak bisa bertanya lagi. Supaya dia tidak bisa mengendus-endus hidupku. Aku harus tetap tenang. "Oh, mungkin korsleting, Pak," kataku. Aku tersenyum. Tapi aku tahu dia tidak percaya. Orang-orang seperti dia... mereka tidak punya hidup sendiri, jadi mereka mencuri hidup orang lain lewat lubang kunci. Gara-gara dia, frekuensiku terganggu. Aku jadi merasa ada mata di setiap sudut lorong. Setiap kali pintu apartemen tetangga terbuka, aku merasa mereka sedang membicarakanku. Menunjukku. "Itu dia, si pria yang rapi. Ada sesuatu yang salah dengannya." Lucu, bukan? Aku bisa membunuh pria di kereta tanpa jejak. Aku bisa menghancurkan mental Siska dalam hitungan minggu. Tapi aku hampir hancur cuma karena seorang pria tua yang tidak tahu cara membuang sampah dengan benar. Aku sudah menanganinya. Tadi pagi, aku masuk ke rumahnya saat dia lari pagi. Aku mengambil surat tagihan bank yang penting miliknya, lalu menyelipkannya di bawah pintu Pak RT dengan catatan palsu yang menghina. Biarkan lalat-lalat itu saling cakar. Biarkan mereka sibuk dengan drama sampah mereka sendiri. api jamnya sudah berdetak. Pak Rudi adalah tanda. Dunia mulai menyadari kehadiranku. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Siska sudah matang. Dia sudah cukup hancur. Aku harus segera membawanya. Ke tempat yang sunyi. Ke tempat di mana tidak ada Pak Rudi, tidak ada tawa Bu Ani, tidak ada suara kereta. Hanya aku, dia, dan kesunyian yang sempurna. Waktunya pindah ke babak final. Persiapan di rumah pedesaan... harus selesai malam ini. Tanpa kesalahan lagi. Lihat dia. Akhirnya... dia berhenti bertanya. Dia duduk di sampingku, meringkuk seperti anak kucing yang kedinginan. Kepalanya bersandar di kaca jendela yang berembun. Dia tidak tahu kita ada di mana, dan dia tidak peduli. Dia sudah terlalu lelah untuk peduli. Dunianya sudah kuhancurkan sampai tidak ada lagi tempat untuk berpijak, dan sekarang... aku adalah satu-satunya pelabuhan yang tersisa baginya. Bau mobil ini... bau vanila dan ketakutan yang tersamar. Siska tadi sempat berterima kasih padaku. "Terima kasih, Adrian," katanya dengan suara yang parau. "Terima kasih sudah membawaku pergi dari semua kekacauan ini." Dia tidak tahu kalau "kekacauan" itu adalah aku. Dan tempat yang kita tuju? Itu bukan pelarian. Itu adalah penyelesaian. Di depan sana, di balik pohon-pohon pinus yang gelap itu, rumah pedesaanku sudah menunggu. Aku sudah menyiapkan semuanya. Ruang bawah tanah itu... oh, itu karya terbesarku. Kedap suara. Dingin. Dan sangat, sangat teratur. Tidak ada Pak Rudi di sana. Tidak ada suara kereta yang bising. Hanya ada aku, dia, dan kejujuran. Aku sudah memasang speaker kecil di setiap sudut ruangan itu. Aku akan memutar rekaman suara pertengkarannya dengan pacarnya, suara bosnya yang memaki, suara tawa Bu Ani... aku akan memutarnya berulang-ulang sampai dia menyadari bahwa dunia luar memang berisik dan kejam. Sampai dia memohon padaku untuk mematikan suaranya. Dan saat itulah, aku akan memberikan hadiah terakhir untuknya: Sunyi yang abadi. Kita sampai. Lihat, Siska. Gerbangnya terbuka menyambutmu. Rumah ini tidak punya jendela di bagian bawah. Tidak perlu. Kau tidak perlu melihat ke langit lagi. Kau tidak perlu mencari pertolongan yang tidak akan pernah datang. Ayo, sayang. Turunlah. Aku akan membantumu membawakan tasmu. Aku akan menuntunmu masuk ke dalam labirinku. Dan begitu pintu itu kukunci... kau tidak akan pernah perlu merasa tidak sempurna lagi. Selamat datang di tempat di mana semuanya... berhenti. Lihat sekelilingmu, Siska. Tidak ada suara, bukan? Hanya detak jantungmu sendiri yang bisa kau dengar. Akhirnya... kau selaras dengan frekuensiku. Tidak ada lagi langit untukmu, hanya dinding beton yang jujur. Kau tahu, aku paling benci saat kau bicara. Tapi sekarang, aku ingin dengar suaramu yang pecah itu. Katakan sesuatu. Mohonlah padaku. Apa? Apa yang kau katakan? ... Bagaimana kau tahu nama Bu Ani? Jangan bercanda. Kau tidak mungkin tahu tentang pria di kereta itu. Dia... dia mati karena alergi. Itu kecelakaan. Semua orang tahu itu kecelakaan! Berhenti. Berhenti bicara! Dari mana kau tahu tentang ruang bacaku? Tentang sisir pink itu? ... Tidak, tidak, tidak. Kau seharusnya hancur! Kau seharusnya menjadi koleksiku yang paling rapuh! Penyamaran? Detektif? ... Jadi selama ini, saat aku mengamatimu, kau sedang... menghitung langkahku? Saat aku merusak hidupmu, kau sedang... mengumpulkan bukti? Semuanya... palsu. Tawamu yang mengganggu, optimismemu yang mual, bahkan ibumu yang sakit... semuanya cuma umpan? Dan aku... aku si jenius Adrian... cuma ikan bodoh yang melompat ke dalam jaringmu? Kekacauan. Ini kekacauan! Dindingku retak. Sistemku... meledak. Aku tidak bisa menyetel ini kembali. Aku tidak bisa memperbaikinya! Indah... benar-benar indah. Kau melakukannya lebih rapi dariku, Siska. Kau menyusun skenario ini dengan sudut sembilan puluh derajat yang sempurna. Kau memasukkan aku ke dalam kotak spesimen milikku sendiri. Ternyata... ini rasanya menjadi "bagian yang rusak". Ternyata... ini rasanya menjadi nada sumbang. Matikan lampunya, Siska. Aku sudah siap... untuk sunyi.